Pengertian etika atau lazimnya disebut etika moral adalah gambaran
rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta
prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut
secara moral diperintahkan atau dilarang. Etika juga merupakan kebiasaan moral
dan sifat perwatakan yang berisi nilai-nilai yang terbentuk dalam tingkah laku
dan adat istiadat.Oleh karena itu penelitian etika selalu menempatkan tekanan
khusus terhadap defenisi konsep-konsep etika, justifikasi atau penilaian
terhadap keputusan moral, sekaligus membedakan antara perbuatan dan keputusan
yang baik dan buruk.
Secara
fisik, manusia ada yang sehat dan ada juga yang cacat, ada yang buta, tuli,
lumpuh, dan kekurangan-kekurangan lainnya yang bersifat jasmaniah. Tetapi
dapatkah kita menyebutkan bahwa kekurangan-kekurangan jasmaniah tersebut juga
menunjukkan adanya kekurangan dalam segi rohani dan kepribadiannya. Sokrates,
misalnya, seorang filosof Yunani kenamaan, yang kadang disejajarkan dengan
nabi, adalah orang yang amat buruk rupa. Tetapi, keburukan ini tidak dianggap
cacat. Atau Abu al-‘Ala Mu’arra dan Thaha Husain, yang hidup di masa sekarang
adalah para tunanetra.[1] Apakah perilaku mereka juga seburuk penampilannya,
ataukah mereka memiliki cacat kepribadian?. Adalah salah bila menganggap rohani
tergantung pada jasmani. Setiap manusia yang berpenampilan baik dalam segi
jasmaniahnya belum dapat dipastikan memiliki tingkah laku atau perangai yang
baik. hal di atas menunjukkan bahwa penilaian seseorang itu tidak bergantung
pada segi jasmaninya.
Dalam
kehidupan ini, kita sering tertipu dengan orang-orang yang berpenampilan baik
sehingga kita menganggap dan menamainya sebagai orang baik. Di televisi dan
media massa lainnya, pernah disebutkan: seorang guru mengaji yang sampai tega
“mencabuli” murid-murid perempuannya yang masih kecil, atau seorang oknum
aparat yang terlibat kasus perampokan, dan pejabat-pejabat yang merupakan
“panutan masyarakat” terlibat kasus korupsi dan kolusi, serta contoh-contoh
lainnya.
Jika
dipersempit masalahnya kedalam masyarakat Islam, dan kita sebutkan saja
pelaku-pelaku tindakan di atas adalah muslim, maka muncul pertanyaan: apakah
pelaku tersebut tidak paham bahwa Islam telah mengajarkan tuntunan-tuntunan
yang disebut ilmu akhlak?, jika ia mengerti bahwa dalam Islam ada ajaran
akhlak, lantas mengapa ia masih tetap melakukan tindakan yang buruk tersebut?.
Berdasarkan
hal di atas, maka permasalahannya dapat dibagi menjadi dua: Pertama bahwa ia
memang tidak paham akan perilaku-perilaku yang sesuai dengan tuntunan akhlak
islami. Kedua, ia mengetahuinya, tetapi tidak mengamalkannya dikarenakan
pemahamannya tentang maksud dan hikmah yang terkandung didalam
tuntunan-tuntunan tersebut masih terbatas. Dari sini dapat diketahui bahwa
akhlak yang berisi tuntunan-tuntunan perilaku muslim, ternyata tidak hanya
sebagai “makanan siap saji” yang langsung dapat dimakan tanpa perlu dikaji dan
dipikirkan, bahan-bahan apa yang terkandung di dalamnya, apakah makanan
tersebut sesuai dengan kondisi tubuhnya dan tidak membawa kemudharatan bagi
kesehatannya.
Oleh sebab
itu, akhlak, sebagai produk siap jadi, ternyata masih perlu dipikirkan kembali,
dikaji ulang dan dipahami maksud-maksud yang terkandung didalamnya. Di sini,
filsafat akhlak dan moral menjadi penting untuk dikaji kembali. Bukan untuk
meruntuhkan tatanan yang sudah ada, tetapi untuk mengoreksi kembali agar
tuntunan tersebut lebih terasa bermakna.
Dalam sebuah
“Temu ramah masyarakat NU Sumatera Utara” yang diadakan di Medan, Masdar F.
Mas’udi, pernah menjelaskan perihal memelihara jenggot. Menurutnya, bahwa Nabi
saw., menyuruh umat Islam memelihara jenggot supaya seorang muslim kelihatan
berwibawa sehingga dengan jenggot yang lebat, orang-orang non muslim akan
menaruh wibawa dan hormat kepadanya. Tetapi perintah ini kurang cocok untuk
orang ras melayu (khususnya orang Indonesia rata-rata bertubuh kecil dan tidak
berbulu lebat), karena bila seorang melayu memelihara jenggot yang tidak lebat
(alias jenggotnya hanya tujuh lembar), maka hal itu tidak akan menimbulkan
kewibawaan baginya, malahan bagi orang yang melihatnya akan menjadi sesuatu
yang lucu dan konyol. Begitu kata Masdar.
Contoh di
atas terkait dengan permasalah etika atau filsafat akhlak, yaitu bagaimana kita
dapat menemukan dan memandang nilai-nilai yang baik bagi kehidupan. Sebagai
salah satu cabang ilmu filsafat, etika mulai dibicarakan oleh para filosof
Yunani hingga ke abad modern ini. Adalah Sokrates filosof yang pertama kali
mengemukakan; untuk apa sebenarnya manusia hidup, bagaimana sebenarnya manusia
harus bersikap dalam memandang diri dan kehidupannya, dan memandang nilai-nilai
yang harus dijalankan dalam kehidupan ini agar melahirkan konsep-konsep yang
dapat diwujudkan dalam kehidupan praktis. Dari sini, tradisi etika pun
berlanjut hingga menjadi pembahasan yang tidak luput dari kajian para filosof
muslim klasik dengan mengembangkan konsep-konsep etika warisan Yunani dengan
prinsip-prinsip utama yang ada dalam ajaran Islam.
Secara
defenisi, etika atau lazimnya disebut filsafat moral adalah gambaran rasional
mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta
prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut
secara moral diperintahkan atau dilarang.[2] Etika juga merupakan kebiasaan
moral dan sifat perwatakan yang berisi nilai-nilai yang terbentuk dalam tingkah
laku dan adat istiadat.[3] Oleh karena itu penelitian etika selalu menempatkan
tekanan khusus terhadap defenisi konsep-konsep etika, justifikasi atau
penilaian terhadap keputusan moral, sekaligus membedakan antara perbuatan dan
keputusan yang baik dan buruk.
Dalam agama
Islam, konsep-konsep moral, keagamaan dan prilaku individu dan sosial
sebenarnya telah terdapat pada teks-teks suci, namun tidak berisi teori-teori
etika dalam bentuk baku walaupun ia membentuk keseluruhan ethos Islam. Jadi
bagaimana cara mengeluarkan nilai-nilai tersebut menjadi sangat penting dalam
studi etika Islam. Oleh karenanya, para teolog dan filosof mengambil posisi
masing-masing dalam menggali otoritas al-Qur’an untuk mendukung pernyataan
teoritis mereka dalam mengambil nilai-nilai yang terdapat dalam wahyu.
Para filosof
muslim awal—dalam kajiannya mengenai etika—apakah Neo-Platonis seperti
al-Farabi, Aristotelian seperti Ibnu Rusyd, atau Platonis seperti Abu Bakar
al-Razi, berada dalam posisi yang berbeda dengan para teolog yang berangkat
dari teks wahyu. Sekalipun mereka tidak bodoh atau secara sengaja menyangkal
otoritas al-Qur’an, namun mereka setia terhadap kaidah-kaidah dalil filsafat
yang telah diwariskan oleh filsafat Yunani. Pembahasan etika filosof-filosof
muslim tersebut sering dihiasi dengan dalil-dalil al-Qur’an seperti cara-cara
penulis muslim umumnya, akan tetapi dikhususkan pada diktum-diktum yang
memperkuat kesimpulan mereka. Jadi untuk membedakan antara keduanya, bagi para
teolog teks suci merupakan dasar kebenaran utama, sedangkan bagi para filosof
adalah akal.[4]
PERSOALAN
ISTILAH: Etika, Moral, dan Akhlak
Etika
merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti: adat
istiadat.[5] Sebagai cabang dari filsafat, maka etika berangkat dari kesimpulan
logis dan rasio guna untuk menetapkan ukuran yang sama dan disepakati mengenai
sesuatu perbuatan, apakah perbuatan itu baik atau buruk, benar atau salah dan
pantas atau tidak pantas untuk dikerjakan.
Di dalam New
Masters Pictorial encyclopaedia dikatakan: ethichs is science of moral
philosophy concerned not with fact, but with values; not with caracter of, but
the ideal of human conduct.[6] (Etika adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak
mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan
manusia, tetapi tentang idenya).
Sebagian orang
berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak. Persamaan itu memang ada, karena
keduanya membahas masalah baik buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika
dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia
di setiap waktu dan tempat dengan ukuran tingkah laku yang baik dan buruk
sejauh yang dapat diketahui oleh akal fikiran. Akan tetapi dalam usaha mencapai
tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan
di dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran atau kriteria yang
berlainan. Setiap golongan mempunyai konsepsi sendiri-sendiri.[7]
Adapun
perkataan akhlak, berasal dari bahasa Arab jama’ dari khuluqun yang menurut
lughat diartikan budi pekerti, perangai, tingkah laku dan tabiat. Kata tersebut
mengandung segi-segi keterkaitan dengan perkataan khalqun yang berarti
kejadian, serta erat hubungannya dengan khaliq yang berarti pencipta, dan
makhluq yang berarti diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai
media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khalik dengan makhluk dan
makhluk dengan makhluk.[8]
Sementara
perkataan moral berasal dari bahasa Latin mores kata jamak dari mos yang
berarti adat istiadat. Dalam bahasa Indonesia, moral diterjemahkan dengan arti
susila. Yang dimaksud dengan moral ialah sesuai dengan ide-ide umum yang
diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. Jadi sesuai dengan
ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum diterima dalam lingkungan tertentu dan
sudah terlembagakan dalam suatu masyarakat.
Ketiga
istilah di atas merupakan istilah-istilah yang banyak dipakai untuk
mengungkapkan makna yang serupa atau hampir sama. Para peneliti etika secara
sadar banyak menyebutkan etika sebagai moral atau juga akhlak. Filsafat moral
disebut juga filsafat akhlak dan sebagainya. Istilah-istilah di atas yang
maknanya disamaratakan pada dasarnya tetap memiliki perbedaan, karena dalam
segi semantik dapat diketahui bahwa setiap kata pada dasarnya memiliki
karakteristik arti atau makna tersendiri yang membedakannya dengan kata
lainnya. Karena apabila ada dua kata atau lebih, memiliki makna sama maka akan
ada pemubaziran dalam berbahasa.
Untuk dapat
membedakannya maka dapat diketahui bahwa etika menetapkan ukuran sesuatu
bertitik tolak dari akal fikiran, tidak dari agama. Di sini letak perbedaannya
dengan akhlak dalam pandangan Islam. Dalam pandangan Islam, ilmu akhlak adalah
suatu ilmu pengetahuan yang mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk
berdasarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ajaran etika Islam sesuai dengan fitrah
akal dan fikiran yang lurus. Sementara perbedaannya antara moral dan etika,
yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat
praktis.
Jika kita
boleh menarik garis batas antara moral dan etika, maka moral adalah aturan-aturan
normatif (dalam bahasa agama Islam disebut akhlak) yang berlaku dalam suatu
masyarakat tertentu yang terbatas oleh ruang dan waktu. Penerapan tata moral
dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat tertentu menjadi bidang kajian
antropologi, sedang etika adalah bidang kajian filsafat. Realitas moral dalam
kehidupan masyarakat yang terjernihkan lewat studi kritis (critical studies)
adalah wilayah yang dibidangi oleh etika. Jadi studi kritis terhadap moralitas
menjadi wilayah etika, sehingga moral tidak lain adalah objek material daripada
etika.[9]
Berbeda dari
etika (filsafat moral), maka akhlak lebih dimaksudkan sebagai suatu ‘paket’
atau ‘produk jadi’ yang bersifat normatif-mengikat, yang harus diterapkan dan
direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim, tanpa perlu
mempertanyakan dan menyelidiki secara kritis terlebih dahulu.
Akhlak atau
moralitas adalah merupakan seperangkat tata nilai yang ‘sudah jadi’ dan ‘siap
pakai’ tanpa dibarengi, bahkan menghindari studi kritis. Sedangkan etika justru
sebaliknya, bertugas untuk mempertanyakan secara kritis rumusan-rumusan masa
lalu yang sudah menggumpal dan mengkristal dalam lapisan masyarakat.[10]
Dalam bahasa
Indonesia, selain menyerap istilah etika, moral dan akhlak, juga digunakan beberapa
perkataan yang makna dan tujuannya sama atau hampir sama, yaitu tata susila,
kesusilaan, budi pekerti, sopan santun, adab, perangai dan tingkah laku atau
kelakuan.
ETIKA DALAM AL-QUR AN
Sebagaimana
yang telah dijelaskan di awal bahwa al-Qur’an berisi nilai-nilai ethos yang
akhirnya membentuk sistem etika Islam. Namun tidak dalam bentuk baku, karena
teks-teks suci tersebut memuat banyak penafsiran. Term-term dalam al-Qur’an
yang berkenaan dengan masalah etika akan menjadi fokus pembahasan ini. Tentunya
tidak semuanya dapat diuraikan. Ada beberapa hal yang dianggap paling menyentuh
dalam konsep etika seperti penggunaan kata al-khayr, al-birrr, al-qisth,
al-ma’ruf, dan beberapa kata lainnya akan dapat dijumpai dalam al-Qur’an dan
menjadi dasar-dasar pembentukan etika Islam.
Dalam ajaran
Islam, penggunaan kata-kata di atas menunjukkan bahwa konsep utama dalam
al-Qur’an adalah benar-benar berasal dari konsep Tuhan yang maha adil, dan
bahwa dalam lingkungan etika manusia setiap konsep sucinya hanyalah refleksi
yang suram—atau imitasi yang sangat tidak sempurna—dari sifat ketuhanan itu
sendiri, atau yang mengacu kepada respon khusus yang diperoleh dari
perbuatan-perbuatan ketuhanan.[11] Di sini, seorang muslim dituntut untuk
sebisa mungkin meniru sikap etis Tuhan, karena pada kenyataannya Tuhan
merupakan sumber dari segala yang etis sebagaimana yang tertera dalam teks suci
al-Qur’an.
Banyak para
ahli merasa kesulitan dalam mengelompokkan kata-kata dalam al-Qur’an berkaitan
dengan konsep moral dan etika religius, seperti: al-khayr, al-birr, al-qisth,
al-iqsath, al-‘adl, al-haqq, al-ma’ruf dan al-taqwa. Perbuatan-perbuatan yang
baik biasa disebut shalihat, sedangkan perbuatan yang buruk disebut sayyiat.
Perbuatan sayyiat secara umum disebut itsm atau wizr yaitu dosa atau kejahatan
yang arti asalnya adalah beban.[12]
Term-term di
atas menjadi dasar umat Islam terhadap pengembangan konsep-konsep moral, yang
disebut sebagai “moralitas skriptual”. Bentuk-bentuk pengamalan terhadap
term-term tersebut juga dijelaskan dalam al-Qur’an serta masing-masing memiliki
akibatnya. Perbuatan-perbuatan shalihat akan membawa manusia kepada konsekuensi
yang baik bagi pelakunya dan perbuatan-perbuatan sayyiat juga akan membawa
pelakunya terhadap akibat yang dapat merugikan dan membebani dirinya sendiri.
BEBERAPA
MASALAH ETIKA
Sebelum
masuk kedalam pembahasan atau permasalahan yang berkaitan dengan etika, maka
perlu diketahui tipe atau karakteristik yang dapat memungkinkan kita melihat
konsep-konsep pemikiran para pemikir muslim berkaitan dengan konsep etika.
Madjid Fakhry menjelaskan karakteristik etika Islam dengan membaginya ke dalam
dua tipe, yaitu: etika teologis dan etika filosofis.
Tipe etika
teologis di dalamnya terdapat tiga aliran besar: (a) aliran rasional yang dipelopori
oleh tokoh-tokoh Qadariah dan Mu’tazilah, (b) semi rasionalis dan voluntaris
yang didirikan oleh Abu Hasan al-Asy’ari yang cenderung lebih tunduk terhadap
terhadap otoritas kitab suci daripada kaidah-kaidah rasional. Penganut aliran
ini adalah al-Baqilaini, al-Baghdadi, al-Juwaini, al-Ghazali dan Fakhr al-din
al-Razi. Aliran yang ketiga adalah anti rasionalis (zahiriyah), yang
mengharuskan agar kitab suci sebagai sumber pokok kebenaran diinterpretasikan
secara harfiah. Tokoh-tokohnya di antaranya Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyah.
Sedangkan
etika filosofis pada awalnya dipengaruhi aliran-aliran filsafat Yunani.
Karya-karya moral yang mula-mula ditulis oleh al-Kindi dan al-Razi mencerminkan
pengaruh filsafat Plato dan Sokrates seperti yang dibentuk oleh pemikiran Cynic
dan Stoa. Dalam tulisan-tulisan para filosof seperti al-Farabi, Ibnu Sina, dan
Yahya ibn ‘Adi, pengaruh Platonisme lebih terasa dalam tulisan-tulisan mereka
dan dimensi politik mulai tampak pada masa ini, di mana sebelumnya tidak ada.
Di dalam karya etika Miskawaih, Platonisme berperan sebagai dasar pijakan
elaborasi sistem etika di mana di dalamnya tali-tali Aristotelian, Neo
Platonisme dan Stoa saling bertemu, yang mungkin di bawah pengaruh komentar
Porphiry yang salah mengenai karya Aristotelas Nicomachean ethics yang terkenal
berasal dari sumber-sumber Arab. Akan tetapi di sini pulalah dimensi politik
menjadi berkurang. Dimensi politik muncul kembali secara penuh dalam
tulisan-tulisan Nasr al-Din al-Tusi yang menggambarkan jauh lebih baik mengenai
kesatuan organis antara politik dan etika daripada pendahulunya.[13]
Sejauh yang
dapat diketahui mengenai pokok-pokok pembahasan etika, di bawah ini akan dapat
dilihat beberapa pandangan pemikir muslim—khususnya para filosof—dalam beberapa
hal seperti masalah jiwa, tingkah laku (akhlak), kebaikan dan keburukan.
1. Jiwa
Pembahasan
tentang jiwa banyak diperbincangkan para filosof muslim dari masa klasik hingga
modern. Sejak al-Kindi sampai Murtadha Muthahhari, persoalan jiwa masih menjadi
perbincangan hangat. Ada yang menganggap jiwa sama dengan ruh atau nyawa, ada
juga yang membedakannya, apakah jiwa juga berarti nafsu, apakah ia juga berarti
akal, masing-masing ahli punya pendapat yang berbeda-beda karena dalam ajaran
Islam masalah jiwa adalah rahasia Tuhan. Secara pasti manusia tidak mengetahui
hakekat sebenarnya, manusia hanya mengetahui sedikit saja melalui informasi
teks suci.[14]
Jiwa manusia
merupakan rahasia Tuhan yang terdapat pada hamba-Nya dan menjadi kebesaran
Tuhan pada makhluk-Nya serta teka teki kemanusiaan yang belum dapat dipecahkan
dan barangkali tidak akan bisa dipecahkan dengan memuaskan. Memang jiwa menjadi
sumber pengetahuan bermacam-macam dan tidak tebatas, tetapi belum lagi
diketahui hakikatnya dengan segala keyakinan. Jiwa menjadi sumber-sumber
pikiran yang jelas, namun sebagian besar pikiran-pikiran tentang jiwa diliputi
oleh kegelapan dan kerahasiaan, meskipun manusia sejak masa pertamanya sampai
sekarang ini masih selalu berusaha dan menyelidiki apa hakikatnya jiwa serta pertaliannya
dengan badan. Permasalahan jiwa dalam kajian etika berfokus pada pengenalan
terhadap jiwa tersebut sehingga digali potensi-potensinya untuk melahirkan
kondisi jiwa yang baik dan melahirkan perbuatan yang baik pula, sesuai dengan
fitrah dan kemauan jiwa kemanusiaan.
Para filosof
muslim, hampir semua sepakat menyatakan bahwa dalam kajian etika, modal dasar
yang harus diketahui terlebih dahulu adalah pengetahuan tentang jiwa. Setiap
tingkah laku atau perbuatan yang lahir merupakan cermin dari kondisi jiwanya.
Perilaku yang baik akan lahir dari kondisi jiwa yang sehat, sedangkan perilaku
yang buruk merupakan sebab dari kondisi jiwa yang buruk pula.
Al-kindi
menjelaskan, bahwa dalam diri manusia, terdapat ruh atau jiwa yang mempunyai
tiga daya atau kekuatan. Daya bernafsu yang berpusat di perut, daya berani yang
berpusat di dada, dan daya berfikir yang berpusat di kepala. Daya berfikir
inilah yang disebut akal.[15] Seseorang yang dapat menguasai tiga daya tersebut
dan dapat mengendalikannya ke arah yang baik maka orang tersebut telah berhasil
dalam mengaktualisasikan jiwa dalam kehidupannya.
Perhatian
yang khusus terhadap masalah jiwa telah dilakukukan oleh Ibnu Sina, salah satu
kitabnya yaitu Risalah al-Quwa al-Nafsiah telah membahas tentang kekuatan jiwa
dengan tinjauan filsafat. Ia secara garis besar telah membagi segi-segi
kejiwaan menjadi dua segi. Pertama, Segi fisika, yang membicarakan tentang
macam-macam jiwa (jiwa tanam-tanaman, jiwa hewan, dan jiwa manusia), pembagian
kebaikan-kebaikan,; jiwa manusia, indera dan lain-lain dan
pembahasan-pembahasan lainnya yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa
yang sebenarnya. Kedua, Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud
haikikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.[16]
Al-Ghazali
menjelaskan bahwa jiwa itu dapat dilatih, dikuasai dan diubah kepada akhlak
yang mulia dan terpuji. Tiap sifat tumbih dari hati manusia dan memancarkan
akibatnya kepada anggotanya. Seseorang yang ingin menulis bagus, pada mulanya
harus memaksakan tangannya membiasakan menulis bagus. Apabila kebiasaan ini
sudah lama, maka paksaan tidak diperlukan lagi karena digerakkan oleh jiwa dan
hatinya.[17]
Ibnu
Miskawaih, seorang filosof muslim yang terkenal dengan kitabnya Tahdzib
al-Akhlak menjelaskan bahwa jiwa adalah sesuatu yang bukan tubuh, bukan pula
bagian dari tubuh dan juga bukan materi (‘aradh). Jika “jiwa” tersebut semakin
jauh dari hal-hal jasadi, maka jiwa semakin sempurna, apabila jiwa bebas dari
indera, maka jiwa semakin kuat dan sempurna serta semakin mampu menilai yang
benar dan menangkap ma’qulat yang simpel. Inilah dalil terjelas bahwa tabiat
dan subtansi jiwa ini berbeda dengan tabiat wadah kasar, dan bahwa jiwa
merupakan subtansi yang lebih mulia dan memiliki tabiat yang lebih tinggi
daripada semua benda yang ada di alam ini.[18]
Selanjutnya
ia menjelaskan bahwa jiwa terdiri dari tiga fakultas atau bagian: fakultas yang
berkaitan dengan berfikir, melihat dan mempertimbangkan realitas segala
sesuatu; fakultas yang terungkapkan dalam marah, berani, khususnya berani
menghadapi bahaya, dan ingin berkuasa, menghargai diri dan menginginkan
bermacam-macam kehormatan; fakultas yang membuat kita memiliki nafsu syahwat
dan makan, keinginan pada nikmatnya makanan dan minuman, senggama, dan ditambah
kenikmatan-kenikmatan inderawi lainnya. Ketiga fakultas ini berbeda satu dari
yang lainnya. Hal ini bisa diketahui dari kenyataan terlalu berkembangnya salah
satu dari ketiga fakultas itu, dan merusak yang lainnya. Salah satu dari
ketiganya dapat meniadakan tindakan-tindakan dari yang lain, atau terkadang
dianggap sebagai tiga jiwa, dan terkadang sebagai tiga fakultas dari satu jiwa.
Fakultas
berfikir (al-quwwah al-natiqah) disebut fakultas raja, sedangkan organ tubuh
yang digunakannya adalah otak. Fakultas nafsu syahwiyah disebut fakultas
binatang, dan organ tubuh yang digunakan adalah hati. Adapun fakultas amarah
(al-quwwah al-ghadhabiyyah) disebut fakultas binatang buas, dan organ tubuh
yang dipergunakan disebut jantung.[19]
2. Tingkah
laku (Akhlak)
Pemikir
muslim yang intens terhadap pembahasan akhlak adalah Al-Ghazali. Teori-teori
etikanya terdapat dalam kitab Mizan al-‘Amal dan dalam karya etika religiusnya
Ihya’ ‘Ulum al-Din. Dalam kitab-kitabnya ia menggambarkan bahwa tingkah laku
seseorang adalah “lukisan batinnya” karena adanya pembiasaan-pembiasaan yang
mewujud kepada prilaku atau akhlak. Ia menjelaskan bahwa kepribadian manusia
pada dasarnya dapat menerima pembentukan, tetapi lebih cenderung kepada
kebaikan daripada kejahatan. Jika kemudian diri manusia membiasakan yang jahat,
maka menjadi jahatlah kelakuannya. Demikian juga sebaliknya jika membiasakan
kebaikan, maka menjadi baiklah tingkah lakunya.[20]
Akhlak itu
ialah kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang dengan
mudah dan tidak perlu berfikir menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku
manusia. Apabila lahir tingkah laku yang indah dan terpuji maka dinamakan akhlak
yang baik, dan apabila yang lahir itu tingkah laku yang keji, dinamakanlah
akhlak yang buruk. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa akhlak yang baik dapat
mengadakan perimbangan antara tiga kekuatan dalam diri manusia, yaitu kekuatan
berfikir, kekuatan hawa nafsu, dan kekuatan amarah.[21]
Murtadha
Muthahhari menjelaskan bahwa perbuatan manusia dapat dibagi menjadi tiga jenis:
1. perbuatan
moral, yang di atas tingkat hewan.
2. perbuatan
immoral, yang setingkat dengan hewan.
3. perbuatan
antimoral, yang dibawah tingkat hewan.[22]
Apabila
seseorang hanya memikirkan dirinya sendiri seperti hewan, ini bukan moral,
tetapi immoral. Tetapi, kadang dalam sikapnya yang hanya memikirkan diri
sendiri, ia mendapat penyakit mental, dan kemanusiaannya diperuntukkan bagi kehewanannya
dan menjurus kepada pembunuhan diri. Sikap keserakahan, kesewenang-wenangan,
ketidakadilan, kezaliman, dan sikap-sikap buruk lainnya akan meruntuhkan
perbuatan moral dan kemanusiaannya, sehingga manusia bisa jatuh kedalam
perbuatan immoral dan antimoral.
Sementara
Ibnu Bajjah[23] membagi perbuatan-perbuatan manusia kepada dua bagian. Bagian
pertama, ialah perbuatan yang timbul dari motif-naluri dan hal-hal lain yang
berhubungan dengannya, baik dekat atau jauh. Bagian kedua ialah perbuatan yang timbul
dari pemikiran yang lurus dan kemauan yang bersih dan tinggi dan bagian ini
disebut “perbuatan-perbuatan manusia.”
Pangkal
perbedaan antara kedua bagian tersebut bagi Ibnu Bajjah bukan perbuatan itu
sendiri melainkan motifnya. Untuk menjelaskan kedua macam perbuatan tersebut,
ia mengemukakan seseorang yang terantuk batu, kemudian ia luka-luka, lalu ia
melempar batu itu. Kalau ia melemparnya dengan kesal karena batu itu telah
melukainya, maka ini adalah perbuatan hewani yang didorong oleh naluri kehewanannya
yang telah mendiktekan kepadanya untuk memusnahkan setiap perkara yang
mengganggunya.
Kalau
melemparkannya agar batu itu tidak mengganggu orang lain, bukan karena
kepentingan dirinya, atau marahnya tidak ada bersangkut paut dengan pelemparan
tersebut, maka ini adalah pekerjaan kemanusiaan. Pekerjaan terakhir ini saja
yang bisa dinilai dalam lapangan akhlak, karena menurut Ibnu Bajjah, hanya
orang yang bekerja di bawah pengaruh pikiran dan keadilan semata-mata, dan
tidak ada hubungannya dengan segi hewani padanya, itu saja yang bisa dihargai
perbuatannya dan bisa disebut orang langit, dan berhak dibicarakan oleh Ibnu
Bajjah dalam bukunya.[24]
Setiap orang
yang hendak menundukkan segi hewani pada dirinya, maka ia tidak lain hanya
harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaannya. Dalam keadaan
demikianlah, maka segi hewani pada dirinya tunduk kepada ketinggian segi
kemanusiaan, dan seorang menjadi manusia dengan tidak ada kekurangannya, karena
kekurangan ini timbul disebabakan ketundukannya kepada naluri.
3. Baik dan
Buruk
Dalam
masalah baik dan buruk, Ibnu ‘Arabi menggunakan istilah cahaya dan kegelapan
yang berasal dari kaum Zoroaster. Wujud positip adalah sumber segala kebaikan
dan wujud negatif merupakan basis dari semua kejahatan. Sesuatu yang dianggap
buruk karena satu atau beberapa alasan[25], yaitu:
karena satu
atau lain agama memandangnya demikian.
relatif
terhadap prinsip etika atau standar kebiasaan yang disahkan oleh kelompok
masyarakat.
karena
hal-hal dan perbuatan itu bertentangan dengan temperamen individual
karena
hal-hal dan perbuatan itu tidak bisa memuaskan keinginan-keinginan natural,
moral atau intelektual dari suatu individu dan sebagainya
karena
terdapat kekurangan atau kelemahan
Ada kategori
buruk lainnya dari Ibnu ‘Arabi, yaitu kebodohan, kebohongan, ketidak
harmonisan, ketidakteraturan, ketidaksesuaian perangai, dosa dan kekafiran. Di
dalam semua itu terdapat kekurangan. Beberapa wujud atau kualitas positip yang
apabila ditambahkan pada hal-hal atau tindakan-tindakan yang kita golongkan
buruk, akan berubah menjadi baik. Tak ada yang buruk, semuanya baik. Dengan
perkataan lain, apa yang dinamakan buruk itu adalah realitas subyektif, bukan
realitas obyektif. Bahkan yang baik itupun apabila dipertentangkan dengan yang
buruk akan menjadi subyektif dan relatif. Satu-satunya kebaikan mutlak adalah
wujud murni yaitu Tuhan.
Ibnu ‘Arabi
menjelaskan kerelatifan baik dan buruk dalam cara lain. Penilaian kita terhadap
kebaikan dan keburukan dari hal-hal adalah relatif menurut pengetahuan kita.
Kita katakan hal atau perbuatan itu buruk, oleh karena ketidaktahuan akan
adanya baik yang tersembunyi di dalamnya. Setiap hal mempunyai aspek eksternal
dan internal. Di dalam aspek internal terletak tujuan dari sang pencipta dan
apabila kita awam terhadap tujuan seperti itu, kita cenderung mudah mengatakan
hal itu sebagai yang buruk. Ibnu ‘Arabi mencontohkannya seperti makan obat. Di
sini adalah suatu kasus buruk yang nampak, seperti rasa mual yang disebabkan
oleh rasa obat itu di mana pasien mencaci obatnya sebagai buruk, karena pasien
tidak mengetahuinya.[26]
Miskawaih
berpendapat bahwa kebaikan merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan
melaksanakan kemauannya dan berupaya dengan hal yang berkaitan dengan tujuan
diciptakannya manusia. Sedangkan keburukan merupakan penghambat manusia
mencapai kebaikan, di mana hambatan ini berupa kemauan dan upayanya, atau
berupa kemalasan dan keengganan mencari kebaikan.[27]
Ia
selanjutnya membagi jenis kebaikan pokok dan perbuatan jahat. jenis kebajikan
pokok tersebut: kearifan, sederhana, berani, dermawan, dan adil. Sementara
kebalikan dari perbuatan baik di atas adalah, bodoh, rakus, pengecut, dan
lalim.
Manusia
berdasarkan perilakunya dapat dibagi menjadi tiga golongan. Bahwa ada manusia
yang baik dari asalnya. Golongan ini tidak akan cenderung kepada kejahatan,
meski bagaimanapun, golongan ini tidak akan berubah dan akan tetap akan
cenderung baik. Golongan ini merupakan minoritas. Golongan yang memang jahat
asalnya adalah mayoritas, sama sekali tidak akan cenderung kepada kebaikan. Di
antara golongan tersebut ada golongan yang dapat beralih kepada kebaikan dan
kejahatan, karena pendidikan dan pengaruh lingkungan.[28]
Miskawaih
tidak menjelaskan dengan rinci siapa orang-orang yang masuk dalam tiga kategori
tersebut. Namun secara implisit, mungkin kita bisa mengatakan bahwa para nabi
dan rasul serta orang-orang yang dimuliakan dan disucikan Allah, masuk dalam
kategori yang pertama, yaitu golongan manusia yang awalnya baik dan tidak akan
cenderung kepada kejahatan. Sementara golongan kedua dan ketiga merupakan
kategori manusia awam dan umum.
KESIMPULAN
1. Etika
adalah gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan
yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan
keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang.
2. Etika
Islam merupakan pembahasan yang dikembangkan sebagai perpaduan antara etika
Yunani dan etika yang ada dalam Islam yang berasal dari teks-teks suci.
Perpaduan tersebut telah melahirkan sebuah bentuk baru dalam disiplin keilmuan
yang disebut filsafat akhlak, di mana akhlak sebagai konsep-konsep praktis
menjadi lebih tercerahkan dengan adanya kajian etika.
3. Para
filosof muslim, hampir semua sepakat menyatakan bahwa dalam kajian etika, modal
dasar yang harus diketahui terlebih dahulu adalah pengetahuan tentang jiwa.
4. Akhlak
itu ialah kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang dengan
mudah dan tidak perlu berfikir menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku
manusia.
5. Kebaikan
merupakan hal yang dapat dicapai oleh manusia dengan melaksanakan kemauannya
dan berupaya dengan hal yang berkaitan dengan tujuan diciptakannya manusia.
Sedangkan keburukan merupakan penghambat manusia mencapai kebaikan, di mana
hambatan ini berupa kemauan dan upayanya, atau berupa kemalasan dan keengganan
mencari kebaikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar