HARI ULANG TAHUNKU
Kubuka mataku dari belaian hangat mimpi yang indah. Senyum menghiasi wajahku
yang berseri. Bergegas kubereskan tempat tidurku dan berlari keluar. Kulihat
seperti biasa, mama sedang memasak didapur.
“Pagi ma! Emmuach!” sapaku sambil mencium pipi mama.
“Pagi Anna. Selamat ulang tahun ya?” kata mama sambil membelai rambutku.
“Makasih ma! Buat kadonya, aku minta liburan ke Bandung ya ma!”
“Iya! Nanti kita kesana sekeluarga! Kamu cepet mandi gih. Ntar telat sekolah lho…”
“Iya ma.” kulempar senyum manisku dan bergegas ke kamar mandi.
“Pagi Anna. Selamat ulang tahun ya?” kata mama sambil membelai rambutku.
“Makasih ma! Buat kadonya, aku minta liburan ke Bandung ya ma!”
“Iya! Nanti kita kesana sekeluarga! Kamu cepet mandi gih. Ntar telat sekolah lho…”
“Iya ma.” kulempar senyum manisku dan bergegas ke kamar mandi.
Setelah semuanya siap, aku berjalan menuju meja makan. Disana sudah ada
papa, mama, kak Deny dan kak Ita. Saat aku akan duduk, kulihat ada sebuah
bingkisan kado ditempat duduk yang biasa aku gunakan. Karena senangnya,
langsung kubuka bingkisan kado itu.
“Wah, apa ini?”
“Buka aja sendiri!” sahut kak Ita. Ternyata itu kado dari kak Ita. Sebuah sweater berwarna ungu, sama seperti warna favoritku.
“Kalo dari kakak besok aja ya?” kata kak Deny sembari melahap sarapannya.
“Iya kak. Wah, kak Ita kok bisa tahu kalo Anna pengen sweater sih?” kutatap wajah kak Ita. Wajahnya nampak pucat dan lesu. “Kak Ita sakit ya?” lanjutku. Entah mengapa ekspresi semua keluargaku menjadi kaget dan bingung mendengar pertanyaanku.
Namun papa segera menjawab, “Nggak. Paling kakakmu itu cuma kecapekan.”
Setelah selesai sarapan, papa mengantarkan aku dan kak Ita berangkat sekolah. Sedangkan kak Deny naik sepeda motor karena ia sudah kuliah. Dimobil, tak seperti biasanya. Kak Ita memelukku. Aku pun membalas pelukannya. Tiba-tiba ia membisikkan sesuatu padaku.
“Kakak sayang sama Anna. Selamat ulang tahun ya?” kak Ita memang dari dulu dekat denganku. Ia selalu ada untukku. Ia bahkan menyayangiku lebih dari apapun. Bahkan ia rela terluka demi aku.
Kurasakan air mata kak Ita menetes. Wajahnya masih pucat dan matanya terpejam.
“Kakak kenapa?” tanyaku sambil mengusap air matanya.
“Kakak tidak apa-apa. Kakak hanya ingin memeluk Anna dengan erat. Ini kan hari spesial Anna!”
Mobil yang membelah jalanan kota Jakarta itu berhenti disekolah kak Ita. Kak Ita melepas pelukannya dan menciumku. Setelah kak Ita turun, mobil kembali dipacu menuju sekolahku.
“Kak Ita kenapa ya?” gumamku. 10 menit kemudian sampailah digerbang sekolahku. Kuberikan salam untuk papa. Dan mobil papa pun hilang di balik tikungan sesaat setelah papa memberi lambaian tangannya.
“Hai Anna! Selamat ulang tahun ya?” sapa teman-temanku. Mereka semua memberiku kado, hingga tasku penuh rasanya. Ada juga cowok yang memberiku bunga mawar dan cokelat. Wah, senangnya.
Saat pulang sekolah, aku menunggu taxi. Akan tetapi, tak ada satupun yang lewat. Tiba-tiba muncullah Erik, sahabatku, yang menawariku tumpangan. Aku ikut saja, toh dari tadi tak ada taxi yang lewat.
“Makasih ya Rik buat tumpangannya!” kataku sesampainya digerbang rumah.
“Sama-sama. By the way, rumahmu kelihatan sepi ya?”
“Iya, tumben. Mungkin kakakku belum pulang. Mau mampir?”
“Nggak usah. Aku pulang dulu ya?”
“Iya, hati-hati.” kataku sambil menepuk pundaknya.
Kubuka gerbang yang terkunci dengan kunci cadangan yang kubawa. Ternyata pintu rumah juga dikunci.
“Kok aneh? Tumben pintu pada ditutup. Mama kemana ya?” gumamku. Setelah kucari seisi rumah, tak ada seorangpun disana. Perasaanku mulai tak enak. Aku coba telepon mama berulang kali, tapi tak diangkat. Begitu juga papa dan kak Ita. Akhirnya kuputuskan untuk menelepon kak Deny.
“Halo kak Deny?” kataku saat teleponku dijawab olehnya.
“Ya halo Anna. Sebentar lagi kakak jemput kamu. Tunggu ya?” sahut kak Deny yang langsung menutup teleponnya.
“Ada apa ini? Semua tak seperti biasanya. Apa maksud kak Deny mau menjemputku? Kenapa suaranya parau? Memangnya semua orang kemana?” tanyaku kebingungan sambil menunggu kak Deny.
25 menit kemudian motor kak Deny sampai didepan gerbang. Hatiku sedikit lega.
“Cepat kunci pintu dan naik motor kakak!” perintahnya. Aku tak berani bertanya apa pun padanya. Wajahnya nampak kacau dengan bekas tangisnya. Aku bergegas naik motor kak Deny sambil membawa tas yang penuh kado ini. Aku ingin menunjukkannya pada kak Ita. Siapa tahu kak Ita juga ada disana.
Aku bingung. Sangat bingung. Kenapa kak Deny membawaku ke rumah sakit?
“Kakak nggak salah tujuan kan? Kenapa kita kerumah sakit?” tanyaku.
“Kamu tunggu disini. Kakak mau ke resepsionis sebentar!”
Kami berjalan menuju ruang ICU. Kulihat dari kaca pintu, kuingin tahu siapa yang ada disana. Bagai disengat listrik ratusan volt. Aku melihat kak Ita tengah berbaring disana. Air mataku pun menetes. Aku melihat kak Deny sedang duduk melamun disamping mama dan papa. Aku menghampiri mereka.
“Kak Ita kenapa?” tanyaku histeris. Kak Deny berusaha memelukku dan menenangkanku.
“Kamu sabar dulu. Jangan ikut nangis. Nanti kakakmu tambah sedih!” sahut papa yang ikut menenangkanku.
“Iya! Tapi kak Ita kenapa? Kenapa tiba-tiba kak Ita ada di ICU?” tanyaku lagi.
“Kakakmu mengidap Leukimia, sayang. Maaf kami tak memberitahumu. Ini keinginan kakakmu sendiri. Ia nggak mau kamu sedih!” kata mama yang ikut menangis. Kak Deny yang memelukku pun tak kuasa menahan tangisnya. Seorang perawat keluar dan mempersilahkan 2 orang untuk menjenguk kak Ita. Aku dan kak Deny lah yang masuk. Kami memakai busana yang steril yang telah disediakan oleh rumah sakit.
“Kak Ita? Kakak kenapa nggak cerita ke aku sih?”
“Ka..kk..ak ng..gggak pap...ah kok di..ik” katanya sambil tersenyum.
“Kak Ita cepet sembuh. Aku kan mau cerita ke kakak kalo tadi tuh banyak yang ngasih kado ke aku!” kataku menahan ribuan tetes air mata yang hendak meledak diujung mataku.
“Ahaha.. pac..ar kam..muh jj..jug..a yy..ya?” godanya. Kak Deny langsung bersandar didekat kepala kak Ita. Ia menangis.
“Ka..k Den..h..ny jj..jangan nang..h..iss. It..ta ud..dah sen..eng kok,”
“Aku lalu mencium kak Ita dan ikut bersandar di kepalanya. Tak terasa waktu yang kami milikki untuk menjenguk telah habis. Terpaksa kami harus meninggalkan kamar kak Ita.
Bulan menampakkan wujudnya. Dan bintang ikut menemaninya. Aku yang sedang duduk termenung diteras rumah bersama kak Deny menikmati indahnya tanpa kak Ita. Kami tidak di izinkan untuk tinggal di rumah sakit terlalu lama. Dulu kami sering menikmati malam bertiga sambil membakar jagung. Dan kak Deny selalu makan paling banyak. Itu membuat kak Ita ngambek dan mencubit pipinya.
Tiba-tiba suara handphone kak Deny memecahkan lamunan kami.
“Iya ma?” kata kak Deny saat menjawab telepon dari mama. Wajahnya langsung pucat pasi. Air matanya mengalir. Firasatku mulai tak enak lagi.
“Iya ma. Aku ngerti!” jawab kak Deny langsung mematikan teleponnya.
“Cepat ganti baju dan ikut kakak!” serunya.
Kak Deny tak mengunci pintu maupun pagar. Aku bingung. Ia langsung memacu motornya kerumah tante yang kebetulan masih satu komplek.
“Iya Den. Tante dan om sudah tahu. Cepatlah kesana!” kata tante dan om yang nampak terburu-buru. Kak Deny memacu motornya lagi menuju rumah pak RT. Aku menunggu diluar. Aku tak tahu apa yang teerjadi. Kenapa harus ke pak RT?
“Ayo berangkat!” kata kak Deny. Aku tak berani bertanya apa pun.
Sesampainya disana, aku melihat kamar ICU kak Ita telah kosong. aku senang, karena kukira kak Ita telah membaik dan telah dipindahkan ke kamar biasa. Namun kegimbiraanku berhenti sampai disana. Aku melihat papa, mama dan kak Deny menangis. Aku mendekatinya.
“Anna. Kamu bareng kak Deny saja ya pulangnya?” tanya papa. Pulang? Aku bahagia. Karena kukira kak Ita telah sembuh dan boleh dibawa pulang. Aku lalu mengiyakan saja tawaran papa tadi sembari tersenyum.
Diperjalanan, aku merasa heran. Kenapa motor kak Deny dan mobil papa mengikuti ambulance? Kecurigaanku semakin bertambah ketika ambulance itu berhenti didepan rumahku. Begitu juga suasana rumahku yang ramai sekali. Banyak orang yang memakai baju berwarna hitam. Saat aku turun dari motor kak Deny, aku melihat bendera kuning yang ada dipagar rumahku. Ada apa ini?
Pintu ambulance itu terbuka. Betapa kagetnya aku. Bagai tersambar petir ditengah gurun pasir.
“Kak Ita?!” gumamku tak percaya. “KAAAKK ITTAAAA!!!” teriakku. Tangan kak Deny meraihku dan memelukku. Aku menangis tak karuan.
“Kak Ita… kenapa kak Ita pergi? Kenapa kak Ita ninggalin aku disaat aku berulang tahun? Kenapa kak Ita nggak sempet nemenin aku membuka kado-kado itu, kak?” kataku sambil menangis dipelukan kak Deny.
“Anna sayang, sudah ya? Jangan sedih terus. Ikhlaskan kakakmu. Dia juga nggak mau lihat kamu sedih dan menangis seperti ini!” Kata kak Deny menyeka air matanya lalu mengusap air mataku.
“Lalu siapa yang nemenin kita bakar jagung? Siapa yang akan menceritakan cerita lucu pada kita? Siapa yang akan ngajak kita jalan-jalan? Siapa yang akan kita jahilin saat kak Ita masak? Siapa yang akan menemani kita menatap langit? Siapa kak Deny? Siapa?” tangisku memuncak.
“Tapi Ita akan sedih jika lihat kamu nangis!”
“Aku belum membuka kadoku bersamanya. Aku ingin memberikan kado yang ia senangi. Tapi kenapa Tuhan mengambilnya?!!”
*****
Sore itu tepat 7 hari meninggalnya kak Ita. Aku dan kak Deny sedang duduk dihalaman belakang rumah. Biasanya kami bertiga bercerita dan bernyanyi bersama disini. Namun kini tiada lagi canda tawa kak Ita. Ia telah bahagia hidup disana. Selamat jalan kakakku sayang… semoga amal kebaikanmu diterima disisi-Nya. Aku adikmu dan kak Deny selalu merindukanmu. I LOVE YOU…
“Wah, apa ini?”
“Buka aja sendiri!” sahut kak Ita. Ternyata itu kado dari kak Ita. Sebuah sweater berwarna ungu, sama seperti warna favoritku.
“Kalo dari kakak besok aja ya?” kata kak Deny sembari melahap sarapannya.
“Iya kak. Wah, kak Ita kok bisa tahu kalo Anna pengen sweater sih?” kutatap wajah kak Ita. Wajahnya nampak pucat dan lesu. “Kak Ita sakit ya?” lanjutku. Entah mengapa ekspresi semua keluargaku menjadi kaget dan bingung mendengar pertanyaanku.
Namun papa segera menjawab, “Nggak. Paling kakakmu itu cuma kecapekan.”
Setelah selesai sarapan, papa mengantarkan aku dan kak Ita berangkat sekolah. Sedangkan kak Deny naik sepeda motor karena ia sudah kuliah. Dimobil, tak seperti biasanya. Kak Ita memelukku. Aku pun membalas pelukannya. Tiba-tiba ia membisikkan sesuatu padaku.
“Kakak sayang sama Anna. Selamat ulang tahun ya?” kak Ita memang dari dulu dekat denganku. Ia selalu ada untukku. Ia bahkan menyayangiku lebih dari apapun. Bahkan ia rela terluka demi aku.
Kurasakan air mata kak Ita menetes. Wajahnya masih pucat dan matanya terpejam.
“Kakak kenapa?” tanyaku sambil mengusap air matanya.
“Kakak tidak apa-apa. Kakak hanya ingin memeluk Anna dengan erat. Ini kan hari spesial Anna!”
Mobil yang membelah jalanan kota Jakarta itu berhenti disekolah kak Ita. Kak Ita melepas pelukannya dan menciumku. Setelah kak Ita turun, mobil kembali dipacu menuju sekolahku.
“Kak Ita kenapa ya?” gumamku. 10 menit kemudian sampailah digerbang sekolahku. Kuberikan salam untuk papa. Dan mobil papa pun hilang di balik tikungan sesaat setelah papa memberi lambaian tangannya.
“Hai Anna! Selamat ulang tahun ya?” sapa teman-temanku. Mereka semua memberiku kado, hingga tasku penuh rasanya. Ada juga cowok yang memberiku bunga mawar dan cokelat. Wah, senangnya.
Saat pulang sekolah, aku menunggu taxi. Akan tetapi, tak ada satupun yang lewat. Tiba-tiba muncullah Erik, sahabatku, yang menawariku tumpangan. Aku ikut saja, toh dari tadi tak ada taxi yang lewat.
“Makasih ya Rik buat tumpangannya!” kataku sesampainya digerbang rumah.
“Sama-sama. By the way, rumahmu kelihatan sepi ya?”
“Iya, tumben. Mungkin kakakku belum pulang. Mau mampir?”
“Nggak usah. Aku pulang dulu ya?”
“Iya, hati-hati.” kataku sambil menepuk pundaknya.
Kubuka gerbang yang terkunci dengan kunci cadangan yang kubawa. Ternyata pintu rumah juga dikunci.
“Kok aneh? Tumben pintu pada ditutup. Mama kemana ya?” gumamku. Setelah kucari seisi rumah, tak ada seorangpun disana. Perasaanku mulai tak enak. Aku coba telepon mama berulang kali, tapi tak diangkat. Begitu juga papa dan kak Ita. Akhirnya kuputuskan untuk menelepon kak Deny.
“Halo kak Deny?” kataku saat teleponku dijawab olehnya.
“Ya halo Anna. Sebentar lagi kakak jemput kamu. Tunggu ya?” sahut kak Deny yang langsung menutup teleponnya.
“Ada apa ini? Semua tak seperti biasanya. Apa maksud kak Deny mau menjemputku? Kenapa suaranya parau? Memangnya semua orang kemana?” tanyaku kebingungan sambil menunggu kak Deny.
25 menit kemudian motor kak Deny sampai didepan gerbang. Hatiku sedikit lega.
“Cepat kunci pintu dan naik motor kakak!” perintahnya. Aku tak berani bertanya apa pun padanya. Wajahnya nampak kacau dengan bekas tangisnya. Aku bergegas naik motor kak Deny sambil membawa tas yang penuh kado ini. Aku ingin menunjukkannya pada kak Ita. Siapa tahu kak Ita juga ada disana.
Aku bingung. Sangat bingung. Kenapa kak Deny membawaku ke rumah sakit?
“Kakak nggak salah tujuan kan? Kenapa kita kerumah sakit?” tanyaku.
“Kamu tunggu disini. Kakak mau ke resepsionis sebentar!”
Kami berjalan menuju ruang ICU. Kulihat dari kaca pintu, kuingin tahu siapa yang ada disana. Bagai disengat listrik ratusan volt. Aku melihat kak Ita tengah berbaring disana. Air mataku pun menetes. Aku melihat kak Deny sedang duduk melamun disamping mama dan papa. Aku menghampiri mereka.
“Kak Ita kenapa?” tanyaku histeris. Kak Deny berusaha memelukku dan menenangkanku.
“Kamu sabar dulu. Jangan ikut nangis. Nanti kakakmu tambah sedih!” sahut papa yang ikut menenangkanku.
“Iya! Tapi kak Ita kenapa? Kenapa tiba-tiba kak Ita ada di ICU?” tanyaku lagi.
“Kakakmu mengidap Leukimia, sayang. Maaf kami tak memberitahumu. Ini keinginan kakakmu sendiri. Ia nggak mau kamu sedih!” kata mama yang ikut menangis. Kak Deny yang memelukku pun tak kuasa menahan tangisnya. Seorang perawat keluar dan mempersilahkan 2 orang untuk menjenguk kak Ita. Aku dan kak Deny lah yang masuk. Kami memakai busana yang steril yang telah disediakan oleh rumah sakit.
“Kak Ita? Kakak kenapa nggak cerita ke aku sih?”
“Ka..kk..ak ng..gggak pap...ah kok di..ik” katanya sambil tersenyum.
“Kak Ita cepet sembuh. Aku kan mau cerita ke kakak kalo tadi tuh banyak yang ngasih kado ke aku!” kataku menahan ribuan tetes air mata yang hendak meledak diujung mataku.
“Ahaha.. pac..ar kam..muh jj..jug..a yy..ya?” godanya. Kak Deny langsung bersandar didekat kepala kak Ita. Ia menangis.
“Ka..k Den..h..ny jj..jangan nang..h..iss. It..ta ud..dah sen..eng kok,”
“Aku lalu mencium kak Ita dan ikut bersandar di kepalanya. Tak terasa waktu yang kami milikki untuk menjenguk telah habis. Terpaksa kami harus meninggalkan kamar kak Ita.
Bulan menampakkan wujudnya. Dan bintang ikut menemaninya. Aku yang sedang duduk termenung diteras rumah bersama kak Deny menikmati indahnya tanpa kak Ita. Kami tidak di izinkan untuk tinggal di rumah sakit terlalu lama. Dulu kami sering menikmati malam bertiga sambil membakar jagung. Dan kak Deny selalu makan paling banyak. Itu membuat kak Ita ngambek dan mencubit pipinya.
Tiba-tiba suara handphone kak Deny memecahkan lamunan kami.
“Iya ma?” kata kak Deny saat menjawab telepon dari mama. Wajahnya langsung pucat pasi. Air matanya mengalir. Firasatku mulai tak enak lagi.
“Iya ma. Aku ngerti!” jawab kak Deny langsung mematikan teleponnya.
“Cepat ganti baju dan ikut kakak!” serunya.
Kak Deny tak mengunci pintu maupun pagar. Aku bingung. Ia langsung memacu motornya kerumah tante yang kebetulan masih satu komplek.
“Iya Den. Tante dan om sudah tahu. Cepatlah kesana!” kata tante dan om yang nampak terburu-buru. Kak Deny memacu motornya lagi menuju rumah pak RT. Aku menunggu diluar. Aku tak tahu apa yang teerjadi. Kenapa harus ke pak RT?
“Ayo berangkat!” kata kak Deny. Aku tak berani bertanya apa pun.
Sesampainya disana, aku melihat kamar ICU kak Ita telah kosong. aku senang, karena kukira kak Ita telah membaik dan telah dipindahkan ke kamar biasa. Namun kegimbiraanku berhenti sampai disana. Aku melihat papa, mama dan kak Deny menangis. Aku mendekatinya.
“Anna. Kamu bareng kak Deny saja ya pulangnya?” tanya papa. Pulang? Aku bahagia. Karena kukira kak Ita telah sembuh dan boleh dibawa pulang. Aku lalu mengiyakan saja tawaran papa tadi sembari tersenyum.
Diperjalanan, aku merasa heran. Kenapa motor kak Deny dan mobil papa mengikuti ambulance? Kecurigaanku semakin bertambah ketika ambulance itu berhenti didepan rumahku. Begitu juga suasana rumahku yang ramai sekali. Banyak orang yang memakai baju berwarna hitam. Saat aku turun dari motor kak Deny, aku melihat bendera kuning yang ada dipagar rumahku. Ada apa ini?
Pintu ambulance itu terbuka. Betapa kagetnya aku. Bagai tersambar petir ditengah gurun pasir.
“Kak Ita?!” gumamku tak percaya. “KAAAKK ITTAAAA!!!” teriakku. Tangan kak Deny meraihku dan memelukku. Aku menangis tak karuan.
“Kak Ita… kenapa kak Ita pergi? Kenapa kak Ita ninggalin aku disaat aku berulang tahun? Kenapa kak Ita nggak sempet nemenin aku membuka kado-kado itu, kak?” kataku sambil menangis dipelukan kak Deny.
“Anna sayang, sudah ya? Jangan sedih terus. Ikhlaskan kakakmu. Dia juga nggak mau lihat kamu sedih dan menangis seperti ini!” Kata kak Deny menyeka air matanya lalu mengusap air mataku.
“Lalu siapa yang nemenin kita bakar jagung? Siapa yang akan menceritakan cerita lucu pada kita? Siapa yang akan ngajak kita jalan-jalan? Siapa yang akan kita jahilin saat kak Ita masak? Siapa yang akan menemani kita menatap langit? Siapa kak Deny? Siapa?” tangisku memuncak.
“Tapi Ita akan sedih jika lihat kamu nangis!”
“Aku belum membuka kadoku bersamanya. Aku ingin memberikan kado yang ia senangi. Tapi kenapa Tuhan mengambilnya?!!”
*****
Sore itu tepat 7 hari meninggalnya kak Ita. Aku dan kak Deny sedang duduk dihalaman belakang rumah. Biasanya kami bertiga bercerita dan bernyanyi bersama disini. Namun kini tiada lagi canda tawa kak Ita. Ia telah bahagia hidup disana. Selamat jalan kakakku sayang… semoga amal kebaikanmu diterima disisi-Nya. Aku adikmu dan kak Deny selalu merindukanmu. I LOVE YOU…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar