IMPIAN
SEDERHANA
Di sebuah
kota kecil di jateng, tinggallah seorang ibu dan anak gadisnya disebuah rumah
yang sederhana. Hanun, itu nama anak gadis yang kini sudah abg. Hanun baru
kelas dua SMA. Dia sudah tidak punya ayah. Ayahnya meninggal waktu hanun
berusia lima tahun. Sudah begitu dia sering kesepian karena gak punya saudara
yang bisa di ajak main. Kehidupan mereka sederhana, ibunya bekerja dengan
membuka warung makan kecil-kecillan, kadang hanun membuat kerajinan tangan dari
barang bekas untuk menambah penghasilan.
“sudah nun,
kalau capek kamu tidur dulu, besok berangkat pagi kan?” kata ibunya, sewaktu
hanun membantu ibunya membereskan warung yang mau tutup.
“gak pa pa bu, hanun belum capek, masih pengen bantu
ibu, dari pada gak ada kerjaan”
“ya sudah,
tapi kalau lelah, jangan dipaksakan ya, ibu nggak mau sekolahmu terganggu”
“iya bu”
......................
Pagi harinya
hanun berangkat sekolah dengan semangat seperti biasa.
“eh, nanti
katanya jamnya bu elsa kosong” kata nina temennya hanun
“yang bener?
Napa kosong?”
“kurang tau
sih, kata ketua kelas sih gitu, nanti Cuma dikasih tugas merangkum”
“hehe,bagus
deh” sekelas pasti seneng banget kalo bu elsa, guru paling galak itu tidak
mengajar.
Waktu pulang
sekolah, hanun melihat cewek yang kayaknya seumuran dia, cewek itu berjilbab,
wajahnya seperti bercahaya dan tidak membosankan untuk terus menerus dilihat.
Hanun merasa kagum, wanita itu seperti bidadari pikirnya. Dia suka melihat
wanita itu. Entah kenapa tiba2 dia jadi pengen pake jilbab. Tapi dia segera
bangun dari lamunannya. Dia sadar, untuk bayar uang sekolah aja kadang bisa
kurang. Apalagi membeli segala keperluan untuk berjilbab. Tapi hanun tetap
bertekad mewujudkan impiannya itu, dia ingin mencapainya dengan usahanya
sendiri. Dia tidak tega meminta uang ibunya.
.............................
“mungkin gak
ya aku bisa berjilbab dengan usahaku sendiri?” kata hanun dalam hati.
“aku harus
lebih bekerja keras lagi mulai sekarang, harus!”
Sejak saat
itu hanun semakin rajin membantu ibunya. Membuat kerajinan tangan, dan dia juga
melamar menjadi penyiar radio distasiun radio daerahnya, setelah mengalami
beberapa proses, akhirnya hanun diterima menjadi penyiar radio dan membawakan
acara pada malam hari karena pagi,siang,sore dia harus sekolah dan membantu
ibunya.
Dengan kerja
kerasnya, hanun bisa mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, meskipun sekolah
sambil bekerja, tapi nilainya tidak pernah jeblog. Karena hanun emang anak yang
cerdas.
Kadang dia
ingat ayahnya. “ayah pasti seneng kalo aku udah berjilbab” katanya dalam hati.
....................................
Setelah
beberapa kali menabung dari hasil kerjanya. Akhirnya dia berhasil mengumpulkan
uang yang lumayan banyak. Tanpa berpikir lama, dia langsung membeli apa yang
dia butuhkan. Dia membeli barang2 kebutuhannya yang harganya terjangkau saja
untuknya. Tidak terlalu banyak dan seperlunya saja.
Pada hari
itu, hanun resmi berjilbab, waktu ibunya pulang, dia menemui ibunya untuk
meminta pendapat dan memberitahu kalo dia akan berjilbab mulai sekarang. Itung2
sebagai kejutan untuk ibunya.
“bu,
sekarang hanun mau berjilbab, menurut ibu bagaimana?”
“alhamdulillaaah,
ibu senang sekaliii, jadi akhir2 ini kamu rajin bekerja agar bisa berjilbab?
Kenapa tidak bilang sama ibu? Insya Alloh ibu kan bisa bantu”
“tapi, hanun
kan pengen buat kejutan, hhehe”
“ayahmu
pasti bangga” kemudian senyum mereka mengembang.
END
“Berdasarkan
kisah nyata… hanya namanya yang berubah. tidak ada maksud menggurui. hanya
ingin mengenang. dan semoga kalian semua ingat apa yang sudah para pahlawan
lakukan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.”
Jakarta, 1999
Sastro terbaring di
atas ranjang berbalut seprai putih sambil bersenandung. Cucu perempuannya
tampak membaringkan kepalanya di sisi kakeknya ikut menikmati nyanyiannya
walaupun gadis kecil itu jelas tidak mengenal lagunya. Sekali lagi, si cucu
menyodorkan sebuah Juz Amma untuk kakeknya. Sastro hanya tersenyum, tahu akan
apa yang bakal dikatakan cucunya.
“Ayo kek, Aisha
ajarin baca Al-Fatihah ya” pintanya polos dengan mata berharap.
“lagi? Kemarin kan
sudah…” elak Sastro dengan nada bercanda, walau suaranya terdengar parau,
akibat tubuhnya yang kian melemah.
“kemarin kan kakek
belum selesai bacanya” protes Aisha sebal.
“kakek ngantuk Aisha,
kakek kan sakit” elak Sastro lagi kemudian langsung membalikkan tubuhnya
pura-pura mendengkur.
Aisha tidak
melanjutkan protesnya, dia percaya kakeknya benar-benar tidur. Gadis kecil itu
berjinjit untuk mencium kening kakeknya dengan sayang.
“maafin Aisha ya udah
ganggu kakek, met bobo” Sastro tetap pura-pura tidur.
Sebenarnya Sastro
sudah sejak lama hafal Al-Fatihah, bahkan hampir seluruh isi Al-Quran dia
hapal. Bukankah dulunya dia seorang guru ngaji sebelum masuk tentara? Sastro
serta merta teringat peristiwa lalu, kejadian pahit yang telah merubah
hidupnya.
Aceh, 1953.
Peristiwa DI/TII,
dimana sekelompok ekstrimis sedang memperjuangkan terwujudnya Indonesia sebagai
negara Islam. Cuaca ketika itu mendung dengan angin berhembus kencang. Tampak
para pejuang kedaulatan Indonesia sedang berpatroli di sekitar barak mereka
yang sederhana.
Pakaian mereka tampak
lusuh bersaput debu mesiu serta darah yang mengering. Janggut dan rambut juga
dibiarkan tumbuh tanpa dicukur. Sastro ketika itu berpangkat letnan, sepuluh orang
tentara muda menjadi tanggung jawabnya. Bedil senantiasa di tangan dan mata
selalu awas berjaga.
“sudah enam hari”
kata rekannya yang bernama Basri sambil memainkan pisau.
“kau rindu dengan
istrimu?” ledek Sastro.
“ngaco kamu, aku
hanya kangen merokok, mulutku sepat rasanya” elak Basri.
“di belantara begini
mana ada yang menjual rokok” tanggap Sastro terkekeh.
“aku ingin mencari di
rimbunan semak sana. Pasti ada pohon tembakau walaupun cuma sebatang” kata
Basri menunjuk sekumpulan tanaman lebat tak tertembus cahaya.
“tapi lumayan jauh
dari perkemahan kita, berbahaya kalau kamu pergi sendiri” cegah Sastro yang
ditanggapi Basri dengan tawa.
“sudah berapa tahun
kau jadi tentara? tahukah kau berapa kali peluru nyaris membunuhku? Bah! Takdir
di tangan Allah! Sudahlah kalau kau begitu khawatir kau ikut saja denganku”
sahut Basri.
Sastro memandang
kawan-kawannya yang tampak berjaga. Terbesit perasaan ragu dalam dirinya.
Memang bukan sekali ini dia ikut berperang. entah berapa kali dia nyaris mati
dalam perjuangannya. Tapi kali ini entah mengapa hatinya terasa berat sekali
untuk mengikuti Basri.
“kau mau ikut tidak?”
Tanya Basri lagi. Dia akhirnya memutuskan untuk ikut. Sastro tahu Basri keras
kepala, kalau sahabatnya mati, Sastro tidak akan pernah memaafkan dirinya.
Siapa tahu para pemberontak itu akan membunuh Basri ketika dia sendirian.
Benar kata basri,
beberapa batang pohon tembakau tampak tumbuh tegar di sana. Basri mengincar
daun-daun yang sudah mengering, agar bisa langsung dilinting untuk dibakar.
“ah nikmatnya” Basri
menghela kepulan asap racun keluar dari paru-parunya. Baru saja mereka berpikir
untuk kembali ke barak. Tiba-tiba terdengar samar suatu letusan senjata.
Pertanda markas mereka tengah diserang.
“Bedebah!” maki Basri
sambil melemparkan lintingan tembakau yang susah payah dia dapatkan. Sastro
gemetar karena firasatnya terbukti. Teman-temannya dalam bahaya.
Dan ketika mereka
kembali ke tenda semua sudah terlambat. Sastro meraung murka karena para
musuhnya berhasil kabur. Gerilyawan pemberontak itu juga meninggalkan tanda
mata untuk Sastro dan tentara lain yang tersisa. Kepala-kepala tanpa tubuh,
ditancapkan pada ruas-ruas bambu menghiasi tenda mereka.
“mereka datang dengan
pasukan yang tiga kali lipat lebih banyak dari kita” seorang anak buahnya
menyeret tubuhnya yang terluka untuk melaporkan kejadian tadi kepada atasannya.
Sastro memeluk
tubuh-tubuh tak bernyawa itu dengan air mata berlinang. Sementara Basri dan
prajurit lain yang tersisa mencoba menenangkannya.
“Ini perang Sastro…”
Rintih Basri.
“tidak hanya kita
yang kehilangan, mereka juga…” tambah yang lain walau semua itu tidak
berpengaruh bagi Sastro.
Sastro mengelilingi
perkemahan, menyaksikan mimpi buruk yang paling dihindarinya. Mayat-mayat
bergelimpangan, kepala terpenggal, usus berhamburan.
Sastro tidak habis
pikir. Mereka Islam, tapi mereka tersesat terlampau jauh. Sebagai mantan guru
ngaji dia sangat mengerti aturan peperangan. kalau mereka memang memahami kitab
suci mereka tidak mungkin berani menyiksa musuhnya sedemikian rupa. Mereka
seharusnya tahu kalau jiwa mereka yang membunuh di peperangan karena amarah dan
nafsu tidak akan diterima di surga. Sastro gelap mata. Pikirannya tertutup
amarah.
“aku tidak mau Sholat
lagi! Aku tidak mau disamakan seperti mereka!” Teriaknya berulang-ulang.
“Astaghfirullah
Sastro..Istighfar” ujar Basri untuk menenangkannya. Tapi otak Sastro sudah
lebih dulu tersaput dendam.
Jakarta, 1999.
Sastro meneteskan air
mata. Dia kini sudah menjadi kakek renta yang sedang menunggu ajal. Tubuh yang
dulunya tegap berisi kini tinggal tulang berbalut kulit. dia takut mati.
Dosanya terlampau besar. Dia malu terhadap sang pencipta.
Salah seorang anaknya
mendekati ranjang. Dialah ibu dari Aisha. Gadis kecil yang tidak pernah jera
meminta kakeknya mengaji.
“pak…” putrinya memandangnya
lekat-lekat, ingin memulai pembicaraan. Tampak matanya sembab seperti habis
menangis.
“dokter bilang umur
bapak tidak lama lagi kan?” tebak Sastro. Putrinya menggeleng lemah.
“dokter tidak bilang
begitu, dia hanya bilang kalau bapak sakit parah dan sulit diobati”
“itu sama saja”
tanggap Sastro sambil tersenyum pahit. Kepalanya tiba-tiba pening. Pandangan
matanya mengabur seakan ada ribuan kunang-kunang mengitari dirinya. dia lalu
mengenang hidupnya yang tidak pernah membosankan.
Selama sisa hidupnya
sastro dikenal sebagai orang yang baik. Dia tidak pernah mabuk-mabukan. Dia
tidak pernah main perempuan. Dia selalu berkurban setiap Idul Adha. Dan Entah
sudah berapa Mushola di Jakarta yang terus berdiri dan kokoh berkat sumbangan
darinya.
Satu yang Sastro
sesali adalah dia tidak pernah Sholat. Rasa ego dan janji bodohnya di masa lalu
yang menyatakan tidak mau lagi menginjak sajadah membuatnya malu terhadap Sang
Pencipta. Dia takut ibadahnya tidak diterima. Kini dia bahkan hampir lupa
bagaimana caranya Sholat.
“pak…” sapa putrinya
yang segera membuyarkan lamunannya.
“bapak belajar Sholat
ya?” lanjut putrinya. Sastro cukup terkejut, karena selama ini putrinya seakan
tidak pernah mempermasalahkan keislamannya. Sastro diam saja.
“bapak sudah tahu
dari dulu kan kalau mereka yang membunuh anak buah bapak secara sadis waktu
perang dulu, sebenarnya adalah orang-orang yang tidak paham sama agamanya
sendiri?” Sastro terbatuk, dia terkejut.
“kamu kok tahu nak?”
Tanya Sastro. Putrinya hanya tersenyum menenangkan.
“beberapa tahun lalu
pak Basri pernah cerita sama Lala, bapak jangan terus mendendam. Bapak jangan
terpengaruh sama masa lalu. Percayai hati nurani bapak saja…” ujar Lala
putrinya sabar. Sastro kembali membisu selama beberapa detik.
“Bapak malu nak…”
kata sastro akhirnya. Sebelum Lala sempat menanggapi. Pintu kamar Sastro
terbuka. Dan masuklah Aisha, gadis kecil yang terus meneror Sastro selama
beberapa tahun ini.
“eh kakek udah
bangun, sini Aisha ajarin baca Al-fatihah” Sastro merasa kehangatan tiba-tiba merayap
di tubuhnya.
“boleh, tapi
ajarinnya pelan-pelan ya” Sastro berharap, ketika ajalnya menjemput. Dia bisa
pergi dengan perasaan bangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar